Kekerasan itu...
Berita mengenai kekerasan siswa di SMA 70 Bulungan, Jakarta Selatan yang ditayangkan di SCTV ditanggapi dengan beragam.
Sebagai salah satu jebolan dari SMA 70, gw ga kaget denger berita itu.
Temen-temen gw juga pernah ngalamin hal tersebut. Mereka pun hanya meneruskan sesuatu yang dianggap tradisi.
Tapi, semua itu sebenernya adalah pilihan.
Anak kelas satu (disebut utas) sebenernya punya pilihan untuk ikut atau ga ikut. Anak kelas dua (aud) dan anak kelas tiga (agit) juga punya pilihan untuk nerusin atau menghentikan tradisi tersebut.
Seperti biasa, dengan alasan tradisi dan membentuk mental yang kuat, beberapa perlakuan yang tidak manusiawi akan diterima oleh anak kelas satu. Perlakuan tersebut antara lain dipukuli, belajar berantem atau tawuran, ngumpulin uang demi alasan kebersamaan, bahkan sampai pelecehan seksual. Hingga akhirnya, akan terbentuk (nama) angkatan baru.
Hasilnya...segelintir orang memang menjadi sangat erat dan solid dalam sebuah angkatan (komunitas). Komunitas ini akan menutup dengan sangat rapat apa yang terjadi sebenarnya. Bahkan, mereka akan merelakan diri untuk dihukum asal yang lain bisa selamat.
Komunitas ini sangat rapi dan baik dalam komunikasi. Secara, anak 70 emang pintar dan cerdas. Yang tau dengan jelas, pastinya hanya anak-anak yang berada di dalamnya, bukan guru bukan juga polisi.
Sekolah sudah bertindak tegas. Hukuman yang dijatuhkan beragam. Dari skorsing hingga pemutusan studi, dikembalikan ke orang tua (DO).
Jarang sekali ada yang mendapat sanksi hukum dari kepolisian.
Anak-anak yang duduk di bangku SMA tergolong ke dalam usia remaja. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak ke dewasa. Banyak hal yang masih dalam persimpangan, bimbang untuk memilih.
Keinginan untuk dihargai dan mempunyai kekuasaan sudah ada, tetapi masih terhambat dengan berbagai keterbatasan, seperti masih tergantung dengan orang tua secara keuangan. Hal ini yang kahirnya bisa menjadi pemicu tindakan pemerasan dan penganiayaan.
Manusia adalah makhluk anima selektiva, mempunyai kemampuan untuk bisa mengubah situasi yang dikehendaki. Ingin punya uang, tapi belum mampu bekerja, jadilah ia memeras. yang diperaspun sebenernya punyai pilihan untuk menghindar dari situasi bisa diperas.
Tentu saja, kemampuan untuk mengubah situasi yang dikehendaki tidak datang dengan sendiri. Manusia harus berpikir, yang akan mempengaruhi keadaan dan arah perkembangan jiwa. Berpikir, bagaimana caranya agar terhindar dari pemerasan. Begitupun yang memeras, harus berpikir bagaimana caranya mendapatkan uang yang lebih pantas.
LAgi-lagi, itu semua pilihan. Manusia mempunyai kebebasan untuk memilih, melakukan tingkah laku yang mandiri. Mau jadi yang diperas, yang memeras, atau tidak menjadi salah satu di antaranya.
Verdi pun (yang menjadi narasumber) juga punya pilihan...
Sebagai seseorang yang pernah mengalami (baik sebagai objek maupun subjek), pastinya Verdi mengalami konflik ketika memutuskan membeberkan peristiwa tersebut. Ia bisa dituduh mencemarkan nama baik sekolah, ga setia kawan. Bahkan ada yang mengancam untuk membubarkan angkatannya.
Di lain pihak, Verdi mengetahui bahwa peristiwa yang sudah lama terjadi itu adalah salah dan tidak baik. Apalagi, latar belakang pendidikan Verdi adalah psikologi. Tentunya, psikologi telah memberikan banyak pengaruh terhadap keputusan yang Verdi ambil.
Tidak mencoba untuk lebih bijak...hanya menurut gw...
Jangan dendam ya...bagi yang sudah mengalami hal tersebut...
Jangan dendam ya...bagi yang ngerasa dicemarkan...
Masih ada kata maaf koq...
Bukan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah...
Ini semua hanya untuk kebaikan...
Kekerasan, pemerasan, pelecehan seksual...
Ah...sudah ga jaman.
Verdi hanya ingin sesuatu yang lebih baik...
Pastinya...anak 70 kan cerdas dan pintar, masa ga bisa cari ide kreatif yang manusiawi sih...
70 gitu loh....
Sebagai salah satu jebolan dari SMA 70, gw ga kaget denger berita itu.
Temen-temen gw juga pernah ngalamin hal tersebut. Mereka pun hanya meneruskan sesuatu yang dianggap tradisi.
Tapi, semua itu sebenernya adalah pilihan.
Anak kelas satu (disebut utas) sebenernya punya pilihan untuk ikut atau ga ikut. Anak kelas dua (aud) dan anak kelas tiga (agit) juga punya pilihan untuk nerusin atau menghentikan tradisi tersebut.
Seperti biasa, dengan alasan tradisi dan membentuk mental yang kuat, beberapa perlakuan yang tidak manusiawi akan diterima oleh anak kelas satu. Perlakuan tersebut antara lain dipukuli, belajar berantem atau tawuran, ngumpulin uang demi alasan kebersamaan, bahkan sampai pelecehan seksual. Hingga akhirnya, akan terbentuk (nama) angkatan baru.
Hasilnya...segelintir orang memang menjadi sangat erat dan solid dalam sebuah angkatan (komunitas). Komunitas ini akan menutup dengan sangat rapat apa yang terjadi sebenarnya. Bahkan, mereka akan merelakan diri untuk dihukum asal yang lain bisa selamat.
Komunitas ini sangat rapi dan baik dalam komunikasi. Secara, anak 70 emang pintar dan cerdas. Yang tau dengan jelas, pastinya hanya anak-anak yang berada di dalamnya, bukan guru bukan juga polisi.
Sekolah sudah bertindak tegas. Hukuman yang dijatuhkan beragam. Dari skorsing hingga pemutusan studi, dikembalikan ke orang tua (DO).
Jarang sekali ada yang mendapat sanksi hukum dari kepolisian.
Anak-anak yang duduk di bangku SMA tergolong ke dalam usia remaja. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak ke dewasa. Banyak hal yang masih dalam persimpangan, bimbang untuk memilih.
Keinginan untuk dihargai dan mempunyai kekuasaan sudah ada, tetapi masih terhambat dengan berbagai keterbatasan, seperti masih tergantung dengan orang tua secara keuangan. Hal ini yang kahirnya bisa menjadi pemicu tindakan pemerasan dan penganiayaan.
Manusia adalah makhluk anima selektiva, mempunyai kemampuan untuk bisa mengubah situasi yang dikehendaki. Ingin punya uang, tapi belum mampu bekerja, jadilah ia memeras. yang diperaspun sebenernya punyai pilihan untuk menghindar dari situasi bisa diperas.
Tentu saja, kemampuan untuk mengubah situasi yang dikehendaki tidak datang dengan sendiri. Manusia harus berpikir, yang akan mempengaruhi keadaan dan arah perkembangan jiwa. Berpikir, bagaimana caranya agar terhindar dari pemerasan. Begitupun yang memeras, harus berpikir bagaimana caranya mendapatkan uang yang lebih pantas.
LAgi-lagi, itu semua pilihan. Manusia mempunyai kebebasan untuk memilih, melakukan tingkah laku yang mandiri. Mau jadi yang diperas, yang memeras, atau tidak menjadi salah satu di antaranya.
Verdi pun (yang menjadi narasumber) juga punya pilihan...
Sebagai seseorang yang pernah mengalami (baik sebagai objek maupun subjek), pastinya Verdi mengalami konflik ketika memutuskan membeberkan peristiwa tersebut. Ia bisa dituduh mencemarkan nama baik sekolah, ga setia kawan. Bahkan ada yang mengancam untuk membubarkan angkatannya.
Di lain pihak, Verdi mengetahui bahwa peristiwa yang sudah lama terjadi itu adalah salah dan tidak baik. Apalagi, latar belakang pendidikan Verdi adalah psikologi. Tentunya, psikologi telah memberikan banyak pengaruh terhadap keputusan yang Verdi ambil.
Tidak mencoba untuk lebih bijak...hanya menurut gw...
Jangan dendam ya...bagi yang sudah mengalami hal tersebut...
Jangan dendam ya...bagi yang ngerasa dicemarkan...
Masih ada kata maaf koq...
Bukan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah...
Ini semua hanya untuk kebaikan...
Kekerasan, pemerasan, pelecehan seksual...
Ah...sudah ga jaman.
Verdi hanya ingin sesuatu yang lebih baik...
Pastinya...anak 70 kan cerdas dan pintar, masa ga bisa cari ide kreatif yang manusiawi sih...
70 gitu loh....
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda